MANA IKHWAN UNTUK KU???
BLEDERR!! Subhanallah, kaget bukan buatan setelah kubaca pesan singkat di ponsel. Allah, ada yang hendak melamarkuuu! Ini sebuah prestasi, eh (mikir) ya prestasi. Aku baca ulang; hmm, apa ada yang keliru dengan cara ini?
“Mirror mirror on the wall, pantaskah aku mendampinginya?” sedikit gila, aku ngobrol dengan kaca meja rias. Kenapa mesti ngaca, orang seperti dia tentu melamar perempuan bukan karena fisik, kaca menjawab. Tapi sepertinya itu suara hatiku.
Umar. Nama sahabat Nabi, juga nama sahabatku. Mungkin sama kualitas jika hidup semasa, analisaku saja. Umar—yang kawanku—sejak SMA selalu berprestasi, pikirannya tajam, sikapnya tegas, saleh tentu saja. Dan, posturnya itu… wajahnya itu… astaghfirullaha’azhim. Aku pernah mengaguminya sebelum hijrah. Lalu aku tobat, karena kekagumanku bertepuk sebelah tangan.
Diterima di kampus yang sama, aku dan Umar berbeda fakultas. Jika bertemu tidak saling sapa, tentu saja, kami tidak saling pandang. Tapi aku hapal bayangannya, karena tiga tahun di SMA kami selalu satu kelas.
Tidak ada yang kebetulan. Hari ini, di hapeku, pada sebuah pesan yang kupastikan tak salah kirim, seorang kawan yang lain mengabarkan keinginan Umar melamarku.
Wiwi nama kawanku itu, agak aneh memang. Menggambarkan orangtua yang tidak kreatif, halah! Ia sudah menikah dua tahun lalu, curi start padahal kuliahnya belum lagi kelar. Sekarang kami sarjana, tapi menganggur. Tidak apa, kan ada suami yang menanggung biaya hidup. Prinsip yang salah. Tolong, kembalilah ke topik!
Wiwi, aku, dan Umar satu organisasi, sebuah lembaga dakwah skup terbesar di kampus. Tidak ada yang istimewa dengan persahabatanku dan Wiwi, kecuali bahwa dia menikah dengan kakak sepupuku, dan kami pernah bertengkar gara-gara pada sepupuku itu, kuceritakan kisah Wiwi yang dulu pernah sms-an ganjen dengan ikhwan senior.
Kami saling diam, lalu berbaikan lagi saat lebaran. Bertengkarnya pada dua hari terakhir Ramadhan.
Ke nomor ponselku, Wiwi yang tidak istimewa mengirimkan pesan ajakan ta’aruf dari Umar. Apa lagi yang hendak dikenalkan? Ayolah Umar, bukankah kita sudah saling kenal. Kadang-kadang agresif itu tidak baik, nuraniku angkat bicara.
Hatiku berbunga-bunga. Tombol gulir kuarahkan ke bawah, menuju huruf ‘e’, memanggil seseorang yang kuberi nama ‘em-er’ pada ponsel.
“Assalamu’alaykum. Apa kabar, Mbak? Djkalhf fieoifepi dkajdkajs kugruipgoripogsw…” sebagai orang Indonesia, etika berbasa-basi hukumnya wajib.
… terus berbicara sambil melihat jam, pulsa berlari kejam karena beda operator …
Mbak Em-er adalah penasihat spiritualku, ya kalau berlebihan sebut saja guru ngaji. Teman berbagi masalah yang bertemu muka satu pekan sekali. Kadang-kadang libur juga jika ada acara besar, dan pertemuan dialihkan ke acara besar itu.
“O begitu… umur Ika sekarang berapa?”
“Dua satu, Mbak,” jawabku mantap. Masih muda kan, tapi sudah laku, gila!
“Sayang loh, masih muda banget. Energinya masih bisa disalurkan buat umat.”
“Memangnya kalau sudah nikah nggak bisa ngurusin umat lagi ya, Mbak?” tanyaku lugu.
“Bisa. Tapi harus berbagi dengan suami, anak, rumah… ya kan?”
Kok nanya balik, mana aku tahu. “Jadi gimana, Mbak?”
“Tunda dululah. Lagipula kita punya jalur kok, Ika tunggu saja proposal nikah dari ikhwan lewat Mbak. Insya Allah lebih bisa dipercaya.”
Aku kaget lagi. Benar-benar simalakama. Lantas aku pusing, antara Umar dan Mbak Em-er. Aku cinta keduanya. Apa? Keliru, aku cinta Mbak Em-er. Umar bukan siapa-siapaku, tidak lebih utama dari penasihat spiritual utusan struktur wilayah.
Wiwi ikut kaget mendapat balasan pesan dariku. Lewat telepon, ia khutbah tanpa naskah. Tapi Wiwi hanya tokoh tidak penting, ia marah karena tidak mampu menyenangkan hati Umar. Dan asal tahu saja, Wiwi nikah lewat jalur swasta. Kakak sepupuku, yang shalihnya biasa-biasa saja, langsung datang menemui orangtua Wiwi, tidak lewat ustadz.
***
Sepekan kemudian.
Dasar mimpi, tiga hari berturut-turut Umar hadir di sana. Tapi syukurlah, ketaatanku pada Mbak Em-er mampu meredam keinginan yang menurutku tak pantas itu. Prinsipku, yang baik untuk yang baik. Itu kata Quran, jadi santai saja.
Empat bulan berikutnya.
Tapi, ‘santai’ itu cuma gampang diketik. Kini, setelah dengan pongah kutolak Umar, hatiku hancur lebur jadi puing paling puing. Undangan pernikahan Umar tergeletak manis di meja kamarku. Wiwi dengan sangat girang mengantarkannya, bahkan sampai ke kamar. Dia tentu tahu, malam ini bantal gulingku akan banjir.
Betul kata Quran, yang baik untuk yang baik. Umar menikah dengan seorang akhwat yang kelihatan biasa-biasa saja, tapi aku tahu hapalannya banyak, rajin tahajjud dan puasa sunnah. Jangan tanya dari mana aku tahu, akhwat itu binaanku. Sasi, akhwat yang dari segi fisik bertipe standar, tapi membuatku gentar dan kapok untuk mengevaluasi amalan binaan di akhir kajian. Lagi-lagi Umar melamar anak orang tanpa lewat ustadz atau siapalah yang cukup punya label untuk disegani. Mungkin karena Wiwi dianggap tidak kapabel jadi comblang, Umar datang sendirian menemui orangtua Sasi. Karena orangtua Sasi sudah setuju, binaanku yang dahsyat itu kemudian meneleponku bukan untuk minta restu, tapi sekadar mengabarkan rencana pernikahannya. Oh dunia, kau seperti ibu tiri!
Melihat kenekatan cara Umar, kupikir ia tidak dalam lingkaran pengajian lagi—aku cukup berharap, agar hati ini sedikit terhibur—tapi melihat tamu yang hadir di walimahan sederhana itu, makin retak jantungku. Rupa dan bau mereka familiar semua.
Hari ini, pada ulang tahun ke enam hancurnya hatiku.
Penasihat spiritualku sudah lima kali ganti. Sekarang kajian pekanan diisi oleh Mbak Em-er Lima, tapi aku masih sendiri. Setia menanti janji Em-er memberi ikhwan yang lebih pantas untukku. Kabarnya, biodata yang kuukir-ukir dulu sudah menguning di laci besi milik Kaderisasi.
Kulihat kerut dahi Bunda makin bertambah, apalagi jika keluarga datang silaturahim. Orang-orang tak kreatif itu seperti tak punya bahan selain membahas jodoh.
Bunda seperti orang dapat wangsit, selalu optimis menyiapkan segala hal untuk rumah tanggaku kelak. Beberapa alat dapur yang masih baru beliau tandai dengan inisialku, sebagai jatah karena tak mampu memberi warisan sepetak sawah, tanah, atau rumah seperti di sinetron-sinetron.
Melihat semua itu, baru kusadari; aku kualat.
Enam tahun lalu aku meminta izin pada orang yang bahkan tak ingat berapa usiaku, dan sekarang yang bersangkutan tak bisa dituntut pertanggungjawabannya. Ke mana materi kajian? Aku bahkan lupa untuk shalat istikharah, karena ketaatanku salah tempat. Kesadaran yang mutlak telat, bahwa posisi syariat berada di atas aturan atau AD/ART organisasi mana pun.
Sekarang Umar sudah beranak tiga, sedang aku hanya berharap segera melepas predikat single sebelum berkepala tiga. Tak berani terus terang pada Bunda soal enam tahun lalu, khawatir keijabahan doanya sebagai ibu pudar sebab kecewa.
Menurut teori, seharusnya aku berusaha. Maka ikhtiarku kali ini adalah mendongkrak doa Bunda untukku yang kuyakin selalu ada dalam shalat malamnya. Usia sudah menyurutkan semangatku untuk aktif, termasuk menjemput jodoh—entah dengan cara apa. Terbukti, sekarang aku lebih melow, tidak lucu lagi.
Contohnya pada detik ini, sekompi orang dari pihak Ayah datang ke rumah, ujug-ujug menawarkan beberapa laki-laki kampung mereka untuk dijadikan menantu Ayah-Bunda. Ada yang juragan kambing, tauke sawit, PNS,….
“Tapi ya… mereka nggak jenggotan. Celananya biasa aja, nggak cingkrang. Biarlah, daripada yang jaga masjid itu, jidatnya item tapi makan aja nunggu dikasih warga.”
“Bla.. bla.. bla..”
“Gimana, Ka?” tanya Bunda.
Serrr… Bunda tidak serta merta memberi keputusan, beliau lebih dulu bertanya padaku. Jangankan menjawab, hatiku malah berdarah-darah mengingat kedurhakaanku melangkahi otoritasnya sebagai orangtua.